“Pimpinan (instansi) belum saling percaya dan belum memberikan instruksi yang jelas, dan ini ada masalah psikologis masa transisi,” kata Agus saat dihubungi, Sabtu, 30 Agustus 2020.
Agus menilai masalah masa transisi itu ada di tubuh TNI dan juga Polri. Dia mengatakan di satu sisi, TNI belum berhasil memberi garis tegas mengenai kewenangannya dalam pertahanan nasional. Bukannya mengurus penegakan hukum.
“Tentara tidak pernah dimaksudkan menjadi penegak hukum, tidak ada mandat konstitusi memberikan kewenangan hukum pada tentara, itu domain polisi,” kata dia.
Dia mengatakan meyakinkan para prajurit untuk menghargai dan mempercayai penegakan hukum yang dilakukan oleh polisi merupakan tugas para petinggi TNI. Dia mengatakan para perwira harus memberikan instruksi kepada bawahannya untuk mempercayai proses penegakan hukum itu. “Kalau pimpinanannya belum percaya, prajurit di bawah tidak memiliki pegangan,” ujar dia.
Di sisi lain, kata Agus, kepolisian juga harusnya melakukan reformasi internal. Dia mengatakan polisi harus mampu menunjukan akuntabilitas dalam melaksanan fungsi penegakan hukum. Selain itu, dia mengatakan pemerintah juga mestinya menghindari kebijakan yang dapat memicu kecemberuan dua instansi. Misalnya, tentang banyaknya perwira polisi yang ditempatkan di jabatan sipil. “Hal itu harus disadari oleh otoritas politik, masih banyak ketimpangan yang bisa menimbulkan rasa cemburu,” kata dia.
Untuk menghindari insiden serupa terulang, Agus mengimbau setiap lembaga harus secara tegas diatur mengenai peran dan kewenangannya. Pengaturan itu diperlukan untuk membangun profesionalitas lembaga. Selain itu, setiap pimpinan lembaga seperti TNI dan Polri juga harus sepakat untuk percaya dan membangun lembaganya sesuai dengan sistem demokrasi.
“Kita berada pada masa transisi dari sistem otoriter ke demokrasi, kita belum sampai pada sistem demokrasi,” kata dia.